Minggu, 13 Juli 2014

Cegah Penyalahgunaan Narkoba, Selamatkan Penggunanya


Pengguna Narkoba juga merupakan anak bangsa yang perlu diselamatkan. Mereka adalah anak-anak kita dan saudara-saudara kita yang harus segera dilepaskan dari belenggu Narkoba agar dapat kembali menjalani hidup dalam keadaan sehat dan produktif.

Demikian pernyataan Menteri Kesehatan RI, dalam sambutannya yang dibacakan oleh Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K), pada kegiatan Pergelaran Seni Budaya dan Forum Komunikasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba yang bertema Bersama Kita Selamatkan Pengguna Narkoba, Jakarta (3/6). Tema tersebut relevan dengan upaya pencegahan penyalahgunaan Narkoba dan melaksanakan kebijakan untuk men-dekriminalisasi pengguna Narkoba di Tanah Air.

Tanggal  11 Maret tahun 2014 lalu, telah diterbitkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang ditandatangani oleh Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan Narkotika Nasional.

Dengan terbitnya peraturan bersama ini maka para pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan Narkoba  di Tanah Air kita memperoleh layanan rehabilitasi  yang diperlukan, jelas Menkes.

Lebih lanjut, amanat Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, Pemerintah bersama segenap lapisan masyarakat telah melakukan berbagai langkah dan upaya untuk menyelamatkan para pengguna Narkoba dan tidak lagi menempatkan para pengguna Narkoba  sebagai pelaku tindak pidana atau  pelaku tindak kriminal. Upaya ini diperkuat dengan penetapan  Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) pada tahun 2011 dan pencanangan tahun 2014 sebagai Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba.

Dewasa ini,  tersedia  274  IPWL  di seluruh Indonesia  yang terdiri dari Rumah Sakit, Puskesmas, dan Lembaga Rehabilitasi Medis milik Pemerintah atau Swasta. Seluruh IPWL mampu melaksanakan rehabilitasi medis,  baik terapi simtomatik maupun  konseling adiksi Napza. Sedangkan, IPWL  berbasis rumah sakit mampu memberikan rehabilitasi medis dalam bentuk rawat inap yang bersifat jangka pendek dan yang bersifat jangka panjang. Menkes berharap seluruh pihak terkait untuk turut menyebarluaskan informasi tentang keberadaan IPWL dan layanan yang diberikan bagi anggota masyarakat yang memerlukan.

Daftar dan alamat IPWL dapat dilihat di website Kementerian Kesehatan, ujar Menkes.

Menkes mengharpkan Badan Narkotika Nasional (BNN) dapat meningkatkan cakupan pengguna Narkoba yang direhabilitasi di IPWL dengan memanfaatkan upaya penjangkauan yang dilakukan BNN dengan segera merujuk para pengguna Narkoba yang terdeteksi di lapangan ke IPWL.

Peningkatan cakupan ini diperlukan, karena dewasa ini pengguna Narkoba yang datang ke IPWL untuk mendapat layanan rehabilitasi hanya mereka yang datang secara sukarela, terang Menkes.

Pengutamaan upaya promotif-preventif pada penanggulangan Narkoba sangat penting, karena langkah ini akan berdampak positif pada menurunnya: 1)  jumlah anak yang mulai merokok pada usia  muda; 2) jumlah orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol; 3) penyalahgunaan Napza; dan 4) menurunnya penyebaran dan penularan HIV AIDS. Menkes juga mengharapkan agar upaya promotif-preventif dapat dintegrasikan dengan upaya-upaya penanggulangan dampak buruk zat adiktif lainnya terhadap kesehatan, termasuk rokok, alkohol, dan inhalans.

Ketiga zat adiktif tersebut seringkali merupakan entry point atau pintu masuk menuju penyalahgunaan Narkoba, tandas Menkes.

Sementara itu, Kepala Badan Narkotika Nasional, Anang Iskandar, menjelaskan besarnya permasalahan Narkoba di Indonesia karena menghadapi 4 juta korban penyalahgunaan Narkoba yang saat ini tersebuar di seluruh wilayah Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 18.000 orang (0,47%) yang mendapat layanan terapi dan rehabilitasi.

Dengan kata lain, perbandingannya 1 dari 222 pengguna Narkoba yang mendapat akses layanan terapi atau rehabilitasi, kata Anang.

Kegiatan Pergelaran Seni Budaya dan Forum Komunikasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, merupakan kerjasama Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kementerian Kesehatan RI. Kegiatan diselenggarakan dalam rangka mentongsong Hari Anti Narkoba Internasional (HANI) tahun 2014 yang diperingati setiap tanggal 26 Juni.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline <kode lokal> 500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, website www.depkes.go.id dan email kontak@depkes.go.id.
Sumber:Depkes RI,  3 Juni 2014

http://www.depkes.go.id/

Selasa, 08 Juli 2014

Jahe Gajah Menjanjikan Peluang Segede Gajah


Oleh: Diade Riva Nugrahani
Jahe gajah termasuk jenis jahe yang paling banyak diminati kalangan industri. Tak hanya pasar dalam negeri, permintaan pasar ekspor juga tinggi. Bahkan, akibat cuaca tak menentu, para produsen harus impor lantaran pasokan jahe menurun. 

Sejak dulu, jahe (
Zingiber officinale) termasuk produk rempah yang paling banyak dicari untuk aneka kebutuhan. Tak hanya untuk industri makanan dan minuman, jahe juga banyak dicari untuk industri pengolahan obat. Karena memang dibutuhkan banyak industri, budidaya tanaman ini selalu menjanjikan. 

Di Indonesia, keluarga jahe dibagi dalam tiga kelompok besar: jahe merah, jahe gajah, dan jahe emprit atau jahe kuning dengan ukuran kecil. Dari ketiganya, jahe gajah merupakan jenis yang paling banyak dicari. Seperti namanya, jahe ini memiliki ukuran lebih besar ketimbang jahe lain. Jika ruas jahe biasanya hanya berberat maksimum 200 gram, berat ruas jahe gajah bisa mencapai 500 gram.

Permintaan jahe gajah tak cuma untuk kebutuhan industri dalam negeri. Jahe gajah juga banyak diekspor ke negara lain. Misalnya, India, Singapura, Jepang, Hongkong, Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan Belanda. Di sejumlah negara Eropa, industri minuman seperti bir, produsen kue, dan bumbu masak membutuhkan jahe sebagai bahan pencampur.

Untuk pasar dalam negeri, permintaan akan jahe gajah banyak berasal dari perusahaan jamu dan farmasi, sebutlah Sidomuncul, Air Mancur, Nyonya Meneer, Jamu Jenggot, dan Indo Farma.

Sutomo, 
Managing Director PT Semesta Alam Petro, salah satu produsen jahe gajah, mengakui hampir semua industri obat tradisional di Indonesia membutuhkan jahe gajah sebagai bahan baku produksi. Tak hanya perusahaan besar, permintaan juga datang dari usaha kecil menengah (UKM). Industri jenis ini umumnya memproduksi permen jahe sampai minuman bandrek kemasan. 

Pasar dalam negeri, umumnya menyerap jahe gajah dalam bentuk irisan jahe kering. Adapun pasar ekspor umumnya menyerap jahe dalam bentuk jahe segar yang sudah dibersihkan. Selain dalam bentuk jahe utuh, baik kering maupun basah, para produsen ini juga menjual jahe dalam bentuk minyak dan bubuk. 

Sebagai salah satu pemain besar bisnis jahe gajah, Semesta Alam Petro mengekspor produk ke Bangladesh, Turki, dan Eropa. Permintaan untuk pasar ekspor bisa mencapai satu ton per hari. “Berapa saja yang kami sediakan, semua diserap habis oleh pasar,” tandas Sutomo.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja, Semesta Alam Petro harus menyediakan hingga 150 ton sehari. “Kami sampai menolak permintaan,” kata Sutomo. 

Muntoha, pemilik CV Jahe Merah di Jakarta, merupakan pemasok jahe gajah untuk aneka industri. Dalam sebulan, Muntoha hanya sanggup memasok kebutuhan hingga 120 ton. Sebab, belakangan ini, pasokan dari petani dalam negeri terus menurun. Padahal, tren permintaan terus naik dari tahun ke tahun. 

Ironisnya, lantaran pasokan dari petani cenderung turun, beberapa pemasok besar terpaksa cari cara instan agar tetap bisa memenuhi permintaan industri makanan minuman, jamu, dan kosmetik. “Kami terpaksa impor jahe dari India dan Vietnam,” kata Sutomo. 


Cuaca buruk

Padahal, dalam kondisi normal, Indonesia merupakan negara yang memiliki iklim dan cuaca yang sangat baik untuk membudidayakan jahe gajah. Tanaman ini dapat tumbuh di ketinggian 800 di atas permukaan laut (dpl). Ari Ferdiyansyah, petani jahe gajah, menjelaskan, jahe gajah bisa ditanam secara monokultur ataupun tumpang sari. Di lahan yang sama bisa ditanam bawang atau cabai. Pola ini cocok bagi petani untuk meningkatkan pendapatan.

Menjelang musim hujan merupakan saat yang paling baik untuk menanam jahe gajah. Sebab, tanaman ini memerlukan pengairan yang teratur dan rentan terhadap hama yang bisa menyebabkan pembusukan. Setelah tanam, jahe gajah bisa dipanen pada usia sembilan hingga 12 bulan.

Bagi petani jahe, menanam jahe gajah relatif menguntungkan lantaran tanaman ini mampu menghasilkan hingga 10 ton per hektare (ha). Jika menggunakan teknologi intensif yang modern, satu hektare bahkan bisa menghasilkan hingga lebih dari 30 ton. 

Sayangnya, belakangan panen tanaman jahe gajah cukup terganggu oleh cuaca yang tak beraturan. Hujan yang terus-menerus menyebabkan akar tanaman busuk, sehingga produksi jahe terganggu. “Hasil kebun turun hingga 40%,” kata Sutomo. Saat ini, Sutomo memiliki total 700 hektare kebun jahe di Temanggung, Pekalong-an, Blora, dan Yogyakarta. 

Kondisi ini berbalik dengan permintaan yang terus tumbuh minimal 10% per tahun. Menurut Muntoha, untuk tetap memenuhi kebutuhan pasar, para produsen jahe gajah terpaksa mengimpor jahe dari sejumlah negara seperti Vietnam dan India. Sutomo, misalnya, mengimpor jahe dari China.

Dan ironisnya lagi, jahe impor malah jauh lebih bagus ketimbang produk lokal. Selain lebih bersih, ukurannya lebih besar. Harganya pun lebih kompetitif. Jika di petani lokal harga jahe gajah bisa mencapai Rp 14.000 per kilogram (kg), harga jahe impor cuma Rp 7.000 per kg.

Sumber:http://kontan.co.id